Berdasarkan penelitian menurut Abdul Wahab Khalaf telah ditetapkan bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, as-sunah, ijma dan qiyas. Dan jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal ini dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Quran, kedua assunah, ketiga ijma, dan keempat qiyas. Yakni bila ditemukan suatu kejadian, pertama kali dicari hukumnya dalam al-Quran, dan bila hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila dalam al-Quran tidak ditemukan maka harus dicari ke dalam sunah. Bila dalam sunah juga tidak ditemukan maka harus dilihat, apakah para mujtahid telah sepakat tentang hukum dari kejadian tersebut, dan bila tidak ditemukan juga, maka harus berijtihad mengenai hukum atas kejadian itu dengan mengkiaskan kepada hukum yang memiliki nash . Adapun dalil yang menunjukan urutan dalam menggunakan empat dalil di atas antara lain Qs. An-Nisa: 59
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS An Nisa:59)
1. Al-Qur’an
Secara bahasa (etimologi), kata Al-Qur’an secara harfiyah berarti bacaan yang sempurna. Menurut terminology, Al-quran adalah Kalam Allah yang mengandung mukjizat (susuatu yang luar biasa yang melemahkan lawan), diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui malaikat Jibril, tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, membacanya dinilai ibadah, dimulai dari surah Al Fatihah dan di akhiri dengan surah An-Nas.
Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw secara bertahap (mutawattir) selama 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun. Isi kandungan Al-Qur’an meliputi: akidah/iman, ibadah, muamalah, akhlak, hukum, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Semua ulama sepakat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah SWT dan wajib di amalkan.
1. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang memiliki sifat mu’jiz (melemahkan dan atau mengalahkan lawan-lawannya). Sebagai salah satu karakteristik al-Qur’an dan sekaligus sebagai keistimewaannya, unsur ini menempati posisi penting sebagai distingsi (pembeda) kitab suci al-Qur’an dengan hadis, di mana sumber ajaran Islam yang disebutkan lebih belakangan ini sama sekali tidak berkekuatan mu’jiz seperti halnya al-Qur’an.
2. Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang khusus hanya diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. Tentu saja unsur pokok ini mejadi penting juga sebagai salah satu karakteristik atau ciri khusus yang menjadi distingsi (pembeda) al-Qur’an dengan sejumlah kitab suci yang telah diturunkan oleh Allah kepada para rasul sebelum nabi Muhammad saw.
3. Metode pewahyuan al-Qur’an mestilah melalui atau dengan perantaraan Jibril. Karakteristik metodologis pewahyuan al-Qur’an ini penting ditonjolkan mengingat tidak ada satu ayat pun dari al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw dengan tanpa melalui Jibril, meskipun harus secepatnya diberikan catatan bahwa tidak semua yang diwahyukan oleh Allah melalui malaikat Jibril mesti berwujud al-Qur’an.
4. Al-Qur’an adalah berhasa Arab, yang lafadz—dan tentu juga maknanya— berasal langsung dari Allah. Tentu saja nilai penting unsur ini adalah sebagai distingsi bersifat fundamental yang membedakan al-Qur’an dengan asSunnah, yang meskipun as-Sunnah itu juga merupakan wahyu Allah, tetapi hanyalah segi maknanya saja yang berasal dari Allah SWT.
5. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang eksistensinya sudah tertuliskan dalam mushaf. Unsur ini menjadi penting dikemukakan untuk membedakan keberadaan al-Qur’an sebagai kalam lafdhi dengan kalam Allah yang masih menyatu atau inheren pada diri Allah yang biasanya diistilahkan sebagai kalam nafsi.
6. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang membacanya saja sudah dinilai sebagai ibadah (artinya, diberikan pahala bagi pembacanya), meskipun yang bersangkutan tak sampai memahami makna kandungnya. Keistimewaan al-Qur’an pada sisi ini penting dikemukakan untuk membedakannya dengan as-Sunnah yang membacanya saja, tanpa pemahaman maknanya, tidak bernilai ibadah. Terkecuali sebagai ibadah menuntut ilmu, misalnya, tentu saja ketika diniati oleh pelakunya untuk kepentingan keilmuan agar lebih bisa memahami ajaran Islam.
7. Al-Qur’an adalah merupakan kalamullah (kalam Allah) yang kualitas periwayatannya mesti sampai pada derajat mutawatir. Karakteristik kitab suci al-Qur’an semacam ini tentu menjadi sangat urgen untuk disampaikan, khususnya dalam konteks untuk kepentingan membedakan keberadaan alQur’an dengan as-Sunnah yang bila ditinjau dari segi periwayatannya ternyata tidak seluruh as-Sunnah mesti bersifat mutawatir, terkecuali hanya sebagian saja darinya.
2. Al Hadis
Al-Hadis menurut bahasa (etimologi) dari kata hadis artinya baru, berita. Al Hadis juga disebut sunah. Secara etimologi sunnah artinya cara yang dibiasakan. Sedangkan menurut istilah adalah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW selain Al-Qu’an. Baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) atau pengakuan (ketetapan) yang berkaitan dengan hukum
Semua ulama sepakat, bahwa al hadis atau sunnah itu menjadi sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an QS Al Hasyr ayat 7:
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Artinya: "Harta rampasan (fai') dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS Al Hasyr:7)
3. Al Ijma
Ijma secara bahasa yaitu berasal dari kata artinya kesepakatan. Sedangkan pengertian ijma secara istilah yaitu kesepakatan imam-imam mujtahid dibidang fikih yang hidup pada suatu masa atas hukum atau kejadian yang ada unsure syara’nya.
melihat bentuknya, ijma' dibagi menjadi 2 macam:
1. Ijma' Sharih Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas, baik melalui ucapan, tulisan atau perbuatan. Dan ternyata seluruh pendapat menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut. Ijma’ ini juga disebut dengan ijma’ qauli.
2. Ijma' Sukuti Yaitu, kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih lebih mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar dan diketahui oleh orang banyak. Namun ternyata tidak seorang pun di antara mujtahid yang lain mengemukakan pendapat yang berbeda.
Pada kasus ini seorang mujtahid lebih memilih diam dan tidak berkomentar dengan pendapat ulama lainnya, ia tidak mengeluarkan pendapatnya pada saat itu tapi diam tersebut dimaksudkan sebagai tindakan pembenaran.
Pengaruh Ijma’ sukuti terhadap hukum bersifat dzanni atau merupakan dugaan kuat terhadap kebenaran. Karena itu tidak terhalang bagi mujtahid lain di kemudian hari untuk mengemukakan pendapat berbeda sesudah ijma itu berlangsung. Menurut Imam Syafi’i ijma sukuti bukanlah ijma yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sedang Imam Ahmad dan Hanafi berpendapat sebaliknya dengan syarat setelah berlalunya waktu dan semua mujtahid pada masa itu telah meninggal serta tidak ada pendapat yang menyanggah hasil ijma tersebut.
Adapun contoh ijma yaitu bahwa pada masa zaman khalifah Umar bin Khattab, sahabat nabi bersepakat fatwanya dalam hitungan rekaat salat tarawih adalah 20 rekaat. Dan telah disepkati juga bahwa salat tarawih itu dilakukan pada malam hari bulan Ramadlan. Saat itu tidak ada seorangpun sahabat-sahabat nabi dan Imam-Imam mujtahid yang membantah, melainkan semuanya setuju. Kesepakatan mereka (ijma’) itulah hujjah yakni dijadikan dalil syari’at.
4. Al Qiyas
Menurut bahasa, Qiyas berarti menyamakan, membandingkan. Sedangkan menurut istilah Qiyas adalah perbandingan menyerupakan hukum masalah baru dengan hukum masalah yang serupa yang telah terjadi lebih dahulu.
Contoh qiyas adalah tentang bahan makanan pokok. Dalam hadis diterangkan, jika gandum sudah mencapai satu nishab, wajib di zakati. Sementara di Indonesia, bahan makanan pokok adalah padi oleh karena itu padi di qiyaskan dengan gandum, sama-sama wajib dizakati jika telah mencapai satu nishab, karena keduanya memiliki illat yang sama yakni sama-sama tumbuhan yang menjadi bahan pokok.
0 Komentar
Berkomentarlah Dengan Bijak Tanpa Niat Menyakiti
"Laa Yaquulu Walaa Yaf'alu Illa Ma'rufaa"