Dari banyak literatur yang berkaitan dengan latar belakang sejarah berdirinya NU pada umumnya menunjukkan perspektif yang sama, yakni reaksi atas perkembangan modernisme Islam yang tarik menarik antara perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika perkembangan Islam di tanah air. Reaksi dimaksud merupakan sikap protes dari tokoh-tokoh Islam yang menyatakan diri sebagai penganut paham Ahlusunnah waljamaah. Konflik-konflik tajam antara kelompok reformis dan Islam tradisional sebagai latar belakang terbentuknya jaringan tiga ulama NU yakni dalam hal ini KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KHR Asnawi, tentu saja tidak lepas dari perkembangan-perkembangan Internasional yang memberikan alasan langsung bagi terbentuknya ketiga ulama tersebut. Lebih dari itu, tujuan utama kemunculan jaringan tiga ulama itu adalah dalam rangka mempertahankan tradisi keagamaan, dalam beberapa hal ia dapat dilihat sebagai upaya menandingi daripada menolak gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang lebih dahulu diperkenalkan kalangan reformis. Kemunculan jaringan tiga ulama NU tersebut untuk mewakili kepentingan-kepentingan ulama, visi pemerintah dan juga kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang hadir lebih dahulu. Untuk menghambat laju pertumbuhan gerakan yang dilakukan kaum reformis itu sejumlah ulama tradisional di Surabaya membentuk sebuah perhimpunan dan mendirikan sebuah sekolah agama, yang diberi nama Tashwirul Afkar pada 1914, dilaporkan pada saat itu bahwa mereka melakukannya sebagai reaksi langsung terhadap propaganda Faqih Hasyim.
Dari forum itulah, ia menyalurkan ide-idenya dan menghimpun kaum muda dalam suatu ikatan. Forum tersebut mengalami perkembangan yang pesat, pengikutnya tidak hanya wilayah Surabaya saja, melainkan sampai ke kota-kota di Jawa Timur lainnya. Pada tahun 1916 K.H. Wahhab Hasbullah bersama K. Mas Manshoer mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Dalam perkumpulan itu ia bersama kiai lainnya seperti Kiai Abdul Halim Laimunanding Cirebon, Kiai Mas Alwi ibn Abdul Aziz, Kiai Maksum Lasem, serta Kiai Khalil Masyhuri Lasem Rembang memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia.
Setelah kepergian K. Mas Manshoer yang pindah ke Muhammadiyah, kepemimpinan Nahdlatul Wathan dipimpin oleh K.H. Abdul Wahhab Hasbullah yang dibantu para guru dan para ulama muda, seperti K.H. Ridhwan Abdullah, K.H. Mas Alwi ibn Abdul Aziz. Di antara para guru muda terdapat Ustadz Abdullah Ubaid, salah seorang kepercayaan K.H. Abdul Wahhab Hasbullah yang kemudian mendirikan perkumpulan Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) sebuah organisasi pemuda Surabaya yang gigih memperjuangkan aspirasi rakyat dan mengobarkan semangat juang, mereka sebagai kader-kader pemimpin masa depan.
Perkembangan perkumpulan seperti Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan memberikan dampak positif bagi solidaritas umat Islam Indonesia. Solidaritas itu memuncak ketika konggres “Khilafah” di dengungkan dari Kairo Mesir untuk mempertahankan “Kekhalifahan di Turki” yang kalah dalam Perang Dunia I. Dalam kesempatan ini K.H. Wahhab Hasbullah ikut serta menampung aspirasi rakyat bersama-sama dengan tokoh pembaharu lainnya seperti K.H. Ahmad Dahlan, H.O.S Cokro Aminoto, H. Agus Salim dan lainnya. Dalam hal ini tampak umat Islam kompak bersatu untuk menggalang forum persatuan Konggres Umat Islam Indonesia yang pertama dan diselenggarakan di Ceribon pada tahun 1922, sebagai forum bersama kelompok Islam Tradisional dan Modernis.
Pada saat itu muncul masalah baru di kalangan dunia Umat Islam, yaitu saat Ibnu Saud mendeklarasikan kekuasaan di Hijaz untuk menggantikan Syarif Husein. Kemunculan Ibnu Saud ini hendak mengganjal misi “Konggres Khilafah”, dan muncul kekhawatiran terhadap Ibnu Saud membawa ajaran Wahabi karena bersimpangan dengan ajaran dan nilai-nilai Ahlusunnah waljamaah. Pada tahun 1924, saat penguasa Mesir mengadakan Konggres Khilafah, umat Islam Indonesia telah membentuk sebuah panitia Komite Khilafah pada 4 Oktober 1924 di Surabaya dengan ketua Wondoamiseno dari SI, dengan wakil ketua K.H. Abdul Wahhab Hasbullah, mewakili kalangan pesantren.
Perhatian dunia ditujukan kepada Abdul Aziz ibn Sa’aud yang menjadi penguasa dan imam kaum Wahabi dan mampu menaklukkan Hijaz pada tahun 1926. Raja Abdul Aziz ini kemudian mengundang negara-negara Islam untuk bertemu di Arab Saudi. Perhatian panitia konggres akhirnya beralih ke Hijaz.
Berangkat dari hal tersebut kaum pembaharu sendiri menyelenggarakan pertemuan-pertemuan di Cianjur memutuskan untuk mengirim delegasi sendiri dengan anggotanya Cokro Aminoto dari SI, dan Mas Mansoer dari Muhammadiyah. Dalam konggres yang diadakan di Bandung, usulan-usulan K.H. Abdul Wahhab Hasbullah tidak banyak diterima dan kaum Tradisionalis tidak dilibatkan dalam delegasi ke Makkah. Hal tersebut mendapat perlawanan dari pihak K.H. Abdul Wahhab Hasbullah yang merasa tidak dihargai. Dengan kesabarannya, K.H. Abdul Wahhab Hasbullah mencoba menitipkan sebuah pesan bersyarat kepada delegasi tersebut untuk disampaikan kepada Raja Ibnu Saud. Pesan tersebut “agar penguasa baru itu tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku dan ajaran-ajaran mazhab yang dianut oleh masyarakat di sana”. Akan tetapi pesan tersebut ditolak oleh golongan pembaharu. Karena apa yang diperjuangkan dari pihak K.H. Abdul Wahhab tidak sesuai dengan ide kaum pembaharu. Atas dasar itu, K.H. Abdul Wahhab Hasbullah mengadakan pertemuan-pertemuan dengan kalangan pesantren, dan dari sini kemudian membentuk Komite Hijaz dalam sebuah rapat di Surabaya 31 Januari 1926. Setelah dari Komite Hijaz tersebut, K.H. Abdul Wahhab Hasbullah mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh K.H. Hasyim Asy’ari, K.H.R. Asnawi dari Kudus, K.H. Syansuri, dari Pati, K.H. Ridhwan dari Semarang, K.H. Alwi ibn Abdul Aziz dari Surabaya, K.H. Maksum Ahmad dari Lasem dan lain-lain. Di bawah pimpinan K.H. Abdul Wahhab Hasbullah, mereka berkumpul dan menghimpun kekuatan di Surabaya, pada tanggal 31 Januari 1926. Tanggal yang kemudian menjadi lahirnya “Nahdlatul Ulama”. NU sebagai suatu organisasi keagamaan yang berpaham Ahlusunnah Waljamaah Secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran Nahdlatul Ulama’ dilatarbelakangi dengan beberapa faktor, antara lain paham keagamaan, politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi.
0 Komentar
Berkomentarlah Dengan Bijak Tanpa Niat Menyakiti
"Laa Yaquulu Walaa Yaf'alu Illa Ma'rufaa"